Investor Saham Di NTB  Lebih Banyak Diminati Oleh Laki Laki

banner 468x60

MATARAM,SAPUNEWS.CON- Perkembangan pasar modal di NTB tahun 2025 berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia,  per September  investor saham sebanyak 74.841 SID dan investor pasar modal (saham, reksadana, obligasi dan lainnya) sebanyak 192.439 SID ,sedangkan transaksi di bulan September senilai 1.328.022.896 (saham & non saham).

Kepala BEI perwakilan NTB, Gusti Bagus Ngurah Putra Sandiana, mengatakan bahwa secara Demografi, jumlah investor saham laki-laki sebanyak 49.836 orang sedangkan perempuan sebanyak 24.209 orang.

banner 336x280

,”Saat ini terdapat 7 Sekuritas antara lain Phintraco Sekuritas, Sucor Sekuritas, Phillip Sekuritas, MNC Sekuritas, NH Korindo Sekuritas, BRI Danareksa Sekuritas, Mandiri Sekuritas dan 1 Sinarmas Asset Management, “ucapnya saat media ghatering, Selasa (4/11/2025).

Menurutnya, selain bertambahnya perusahaan sekuritas di NTB, untuk meningkatkan distribution channel saat ini juga BEI NTB telah memiliki kerjasama dengan 35 Galeri Investasi BEI se-NTB yang terdiri dari 14 GI BEI kampus, 20 GI Edukasi BEI, dan 1 GI BEI Non Kampus (institusi).

Beberapa program unggulan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh kantor perwakilan BEI NTB antara lain Program Guruku Investor Saham untuk para guru se-NTB, Program Wakaf Saham untuk mendukung Kota Mataram sebagai Kota Wakaf, dan Pekerja Migran Cerdas Investasi.

Optimalisasi obligasi daerah dan sukuk daerah sebagai instrumen pembiayaan pembangunan daerah.

Pemerintah daerah di Indonesia memiliki berbagai instrumen untuk mendukung pembiayaan pembangunan. Salah satu alternatif yang dapat digunakan adalah obligasi daerah dan/atau sukuk daerah.

Obligasi daerah merupakan surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh pemerintah daerah untuk memperoleh dana dari masyarakat maupun investor institusi. Dalam penerbitannya, pemerintah daerah berkewajiban membayar kembali pokok pinjaman beserta bunga sesuai jangka waktu yang ditentukan.

Sementara itu, sukuk daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan pemerintah daerah sebagai bukti atas kepemilikan sebagian aset atau manfaat dari proyek yang dibiayai. Instrumen ini tidak menggunakan bunga, melainkan memberikan imbal hasil sesuai akad syariah yang disepakati.

Pemerintah juga menunjukkan dukungannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional, yang membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan pembiayaan utang melalui penerbitan obligasi daerah dan sukuk daerah. Instrumen ini dapat dimanfaatkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur daerah, pengelolaan portofolio utang daerah, serta penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD dengan menggunakan dana hasil penjualan obligasi daerah dan sukuk daerah.

Selain itu, instrumen ini juga memiliki dasar hukum yang lebih teknis melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 10 Tahun 2024 tentang Penerbitan dan Pelaporan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Sementara itu, aspek pencatatan diatur oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui Peraturan No. I-B tentang Pencatatan Efek Bersifat Utang serta Peraturan No. I-G tentang Pencatatan Sukuk.

Peluang dan potensi bagi pemerintah daerah

Meskipun regulasi telah tersedia, hingga tahun 2025 belum ada pemerintah daerah yang menerbitkan obligasi maupun sukuk daerah. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi pemanfaatan instrumen pembiayaan tersebut masih terbuka lebar bagi pemerintah daerah dalam memperluas sumber pendanaan pembangunan di luar pendapatan asli daerah, transfer pusat, dan pinjaman daerah.

Dana hasil penerbitan dapat digunakan untuk membiayai proyek-proyek prioritas seperti infrastruktur transportasi, air bersih, hingga fasilitas publik yang berdampak langsung terhadap peningkatan layanan masyarakat.

Selain itu,penerbitan obligasi atau sukuk daerah juga dapat mendorongpeningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan daerah. Setiap tahap mulai dari perencanaan, penawaran, hingga pelaporan harus dilakukan secara terbuka dan diaudit sehingga dalam hal ini dapat meningkatkan kepercayaan investor dan juga memperkuat tata kelola pemerintahan daerah yang baik.

Langkah persiapan yang dapat dilakukan pemerintah daerah

Pemerintah daerah dapat memanfaatkan instrumen pembiayaan ini dengan memastikan kesiapan internal dan tim teknis yang memadai. Langkah pertama adalah melakukan feasibility study agar proyek yang akan dibiayai memang produktifdan memiliki manfaat ekonomibagi daerah tersebut.

Baca Juga:  Indosat Dorong Literasi Digital untuk Pelajar Lewat Workshop Literasi Digital GenSi

Pemerintah daerah juga perlu menetapkan nilai dari penerbitan, penggunaan dana dan pembayaran pokok, kupon/imbal hasil dan biaya lainnya yang timbul sebagai akibat penerbitan obligasi maupun sukuk. Selain itu, pemerintah daerah juga perlu memperkuat kapasitas manajemen keuangan, termasuk dalam hal pengelolaan utang, perencanaan kas, dan pelaporan keuangan yang baik. Diperlukan juga persetujuan prinsip DPRD sebagai representasi masyarakat, serta persetujuan dari Menteri Keuangan untuk memastikan kesesuaian dengan kebijakan fiskal nasional. Setelah itu, pemerintah daerah dapat menunjuk lembaga penunjang seperti penjamin emisi (underwriter), konsultan hukum, wali amanat,lembaga pemeringkat (rating agency) dan profesi lainnya guna mendukung proses penerbitan. Kesiapan tim internal dan eksternal serta koordinasi lintas pihak menjadi kunci utama keberhasilan dalam tahap awal implementasi.

Dengan dukungan regulasi yang semakin kuat serta kebutuhan pembiayaan pembangunan yang terus meningkat, saatnya pemerintah daerah mulai memanfaatkan creative financing dari pasar modal. Obligasi daerah dan sukuk daerah tidak hanya sebagai instrumen keuangan, namun juga wujud nyata inovasi fiskal yang mendorong kemandirian dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam membangun wilayahnya sendiri.

Dalam hal ini, BEI turut mendukung inisiatif pemerintah daerah dalam proses penerbitan dan pencatatan obligasi daerah maupun sukuk daerah. Dukungan tersebut diberikan melalui pendampingan intensif pada tahap persiapan, termasuk dalam pemahaman terhadap mekanisme pasar modal. BEI juga menyediakan insentif berupa keringanan biaya pencatatan sebagai upaya untuk mendorong partisipasi daerah. Dengan perencanaan yang matang, tata kelola yang transparan, dan pengawasan yang kuat, penerbitan instrumen ini diharapkan dapat menjadi katalis untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan kualitas layanan publik, dan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan keuangan daerah.

Mengenal Fenomena Profit Taking di Pasar Saham Indonesia

Pasar saham Indonesia kembali bergejolak dalam sepekan terakhir. Setelah sempat menembus level 8.100-an, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik arah dan menutup perdagangan di posisi 7.915,66 poin. Koreksi sekitar dua setengah persen ini menandai berakhirnya fase penguatan jangka pendek yang telah berlangsung sejak awal bulan. Namun di balik pergerakan tersebut, tersimpan sebuah fenomena klasik dalam dunia investasi yang dikenal sebagai profit taking atau aksi ambil untung yang dilakukan investor setelah harga saham naik cukup tinggi.

Profit taking bukanlah tanda bahwa pasar sedang jatuh bebas. Sebaliknya, ia adalah napas alami dari setiap pergerakan pasar yang sehat. Ketika harga saham telah naik signifikan, sebagian investor memilih untuk merealisasikan keuntungannya.

Mereka menjual sebagian atau seluruh kepemilikannya agar keuntungan yang sebelumnya hanya “di atas kertas” berubah menjadi uang tunai nyata. Dalam jangka pendek, aksi serentak semacam ini bisa menekan harga saham, sehingga indeks tampak menurun. Namun di balik itu, pasar sebenarnya sedang melakukan penyesuaian agar tidak melaju di luar nilai wajar.

Fenomena ini sering kali terjadi setelah periode euforia. Ketika berita positif mendominasi, harga saham melesat, dan banyak investor ritel ikut masuk karena takut ketinggalan momentum. Saat tekanan beli mencapai puncak, pelaku pasar yang lebih berpengalaman biasanya mulai berhitung. Apakah harga saat ini sudah terlalu tinggi dibanding kinerja fundamental perusahaan? Jika ya, maka mereka memutuskan untuk mengunci keuntungan. Dalam bahasa sederhana, profit taking adalah bentuk kedisiplinan finansial. Strategi untuk berhenti pada waktu yang tepat.

Di pasar modal Indonesia, fenomena profit taking biasanya terlihat setelah rilis data ekonomi atau laporan keuangan yang kuat, atau setelah IHSG mencetak rekor baru. Awal Oktober, misalnya, ketika indeks sempat melampaui 8.100 poin, banyak pelaku pasar memanfaatkan momen tersebut untuk merealisasikan cuan. Dalam waktu singkat, tekanan jual meningkat, terutama di saham-saham perbankan besar, material, dan industri dasar. Hasilnya, indeks terkoreksi meski sentimen ekonomi secara umum masih positif.

Baca Juga:  Komunitas Peduli Reklamasi Gelar Diskusi Publik, Reklamasi Di Daerah  Konservasi Apakah Berujung Bui

Bagi investor pemula, koreksi semacam ini sering menimbulkan kepanikan. Mereka mengira pasar sedang anjlok, padahal yang terjadi hanyalah fase penyesuaian. Pasar saham, seperti manusia, tidak bisa berlari terus tanpa berhenti. Ia perlu menarik napas agar mampu berlari lebih jauh. Profit taking adalah fase ketika harga-harga menyesuaikan, keseimbangan permintaan dan penawaran dipulihkan, dan fondasi untuk kenaikan berikutnya dibangun.

Salah satu kesalahan umum investor baru adalah terburu-buru menjual semua saham ketika melihat penurunan harga akibat profit taking. Padahal, jika koreksi yang terjadi masih wajar dan tidak disertai perubahan fundamental, maka itu bisa menjadi kesempatan membeli kembali di harga lebih rendah. Dalam konteks jangka panjang, memahami siklus ini jauh lebih penting daripada mencoba menebak waktu yang tepat untuk keluar dan masuk pasar.

Bahkan investor legendaris seperti Warren Buffett sering menekankan bahwa pasar jangka pendek adalah mesin voting, sementara pasar jangka panjang adalah mesin penimbang nilai sebenarnya.

Fenomena profit taking juga bisa mencerminkan kedewasaan sebuah pasar. Di negara dengan investor yang sudah matang, fluktuasi akibat aksi ambil untung dianggap hal biasa. Investor memahami bahwa pasar yang selalu naik tanpa koreksi justru berisiko tinggi, karena bisa menciptakan gelembung harga (bubble). Sebaliknya, koreksi yang disebabkan oleh profit taking menandakan bahwa mekanisme pasar bekerja sebagaimana mestinya. Investor rasional mengambil untung, harga terkoreksi, lalu pelaku pasar lain masuk kembali di level harga yang sesuai dengan fundamentalnya.

Dalam situasi seperti ini, strategi terbaik bagi investor ritel adalah menjaga keseimbangan antara keberanian dan kesabaran. Tidak semua penurunan harus dihindari, dan tidak setiap kenaikan harus dikejar. Ketika harga saham terkoreksi akibat profit taking, fokuslah pada nilai jangka panjang dan fundamental perusahaan. Apakah kinerjanya masih solid? Apakah prospeknya masih menjanjikan? Jika jawabannya ya, maka penurunan harga hanyalah sementara. Di sinilah pemahaman dan analisis diuji. Bukan pada saat pasar sedang naik, tetapi ketika kita tetap tenang di tengah gejolak.

Profit taking juga menjadi momentum refleksi bagi investor tentang pentingnya disiplin. Banyak orang terlalu fokus pada kapan harus membeli, tetapi lupa mempelajari kapan sebaiknya menjual. Padahal, menjual dengan tepat waktu sama pentingnya dengan membeli di harga murah. Menetapkan target keuntungan dan batas risiko sejak awal akan membantu investor menghindari keputusan emosional. Dengan begitu, setiap langkah di pasar saham bukan lagi reaksi spontan terhadap grafik, melainkan hasil dari perencanaan yang matang.

Ketika IHSG terkoreksi di akhir Oktober, setelah serangkaian kenaikan, sesungguhnya pasar sedang mengajarkan kita satu hal. Bahwa mengambil untung adalah bagian dari perjalanan, bukan akhir dari cerita. Karena setelah setiap aksi profit taking, selalu ada peluang baru yang lahir, peluang bagi mereka yang percaya bahwa pasar saham, pada akhirnya, selalu bergerak menuju nilai sejatinya.

Kenapa IHSG Naik Turun? Cara Sederhana Memahami Pasar Saham

Setiap kali menyalakan televisi atau membuka portal berita keuangan, kita sering mendengar kalimat seperti “Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hari ini naik seratus poin” atau “IHSG ditutup melemah di level 7.950”.

Bagi kebanyakan orang, kalimat itu terdengar rumit dan jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun sesungguhnya, naik-turunnya IHSG adalah salah satu gambaran sederhana dari denyut nadi ekonomi dan psikologi manusia yang bergerak di dalamnya.

IHSG merupakan cermin yang merefleksikan pergerakan seluruh saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jika pasar saham diibaratkan sebagai pasar tradisional, maka IHSG adalah harga rata-rata dari seluruh dagangan di pasar itu. Ketika pembeli ramai dan banyak yang ingin memiliki barang, harga-harga akan naik. Sebaliknya, ketika penjual lebih banyak daripada pembeli, harga turun. Prinsip yang sama berlaku dalam dunia saham. Ketika banyak investor optimis dan berlomba membeli saham, IHSG akan bergerak naik. Namun ketika sentimen negatif muncul dan para investor memilih menjual, IHSG pun akan terkoreksi.

Baca Juga:  Duta Lingkungan NTB Gandengan PLN UIP Nusra Bersihkan Sungai di Kota Mataram

Pergerakan IHSG tidak hanya dipengaruhi oleh angka-angka ekonomi, tetapi juga oleh emosi manusia. Investor tidak selalu membuat keputusan berdasarkan data murni. Mereka juga digerakkan oleh rasa takut dan harapan. Ketika muncul berita positif, seperti pertumbuhan ekonomi yang kuat, suku bunga yang stabil, atau peningkatan laba perusahaan besar, rasa percaya diri para pelaku pasar meningkat.

Mereka membeli saham dengan keyakinan bahwa masa depan ekonomi akan cerah, dan IHSG pun menanjak. Sebaliknya, ketika terdengar kabar dengan sentimen negatif, seperti inflasi yang melonjak, gejolak politik, konflik global, atau resesi di negara besar, rasa cemas merayap masuk. Para investor menjadi waspada, bahkan panik, dan memilih menjual saham untuk menyelamatkan dana mereka. Akibatnya, IHSG tertekan dan melemah.

Perlu diingat bahwa fluktuasi pasar saham adalah hal yang sangat wajar. Sama seperti kehidupan, pasar saham tidak bergerak lurus. Ada masa-masa penuh semangat, dan ada pula masa suram yang menantang. Dalam dunia investasi, fase naik dan turun disebut volatilitas, dan justru itulah yang menciptakan peluang.

Ketika harga turun, investorberpengalaman melihat kesempatan untuk membeli saham bagusdengan harga diskon.Ketika harga naik, mereka menikmati hasil dari kesabaran dan strategi jangka panjang.

Bagi sebagian orang, pergerakan IHSG bisa terasa menegangkan, terutama jika melihat angka-angka di layar berubah dengan cepat. Tapi bagi mereka yang memahami esensinya, naik-turunnya indeks bukanlah bencana, melainkan bagian dari tarian alami pasar. Dalam jangka pendek, harga bisa naik atau turun tajam, tetapi dalam jangka panjang, arah IHSG biasanya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sejak berdiri, pasar saham Indonesia telah melewati berbagai krisis, dari krisis moneter 1998, pandemi global, hingga ketegangan geopolitik, namun tetap mampu bangkit dan tumbuh lebih tinggi dari sebelumnya. Itulah bukti bahwa waktu adalah sahabat terbaik bagi investor yang sabar.

Cara paling sederhana untuk menghadapi naik-turunnya IHSG adalah dengan mengubah cara pandang terhadap investasi. Saat IHSG turun, kita membeli lebih banyak saham sesuai kebutuhan yang dianalisis dengan harga murah. Saat naik, nilai investasi kita tumbuh. Prinsip sederhana ini dikenal sebagai cost averaging, dan terbukti efektif dalam menghadapi fluktuasi pasar.

Selain itu, penting untuk memiliki diversifikasi. Artinya, jangan menaruh semua uang di satu saham atau satu sektor. Dengan menyebar investasi ke berbagai jenis saham atau instrumen lain seperti reksa dana, obligasi, dan emas, risiko dapat ditekan. Tidak ada satu pun investor, bahkan yang paling hebat, yang bisa menebak pergerakan pasar dengan tepat setiap waktu. Yang bisa dilakukan adalah mempersiapkan diri dengan strategi yang matang dan disiplin.

Jadi, ketika kamu melihat berita bahwa IHSG turun hari ini, jangan langsung khawatir. Naik-turun adalah bagian alami dari perjalanan pasar. Sama seperti ombak di lautan, pergerakan itu tak bisa dihentikan, tapi bisa dipahami dan dimanfaatkan. Yang penting bukan menebak kapan gelombang datang, melainkan belajar menavigasi di atasnya.

IHSG akan terus naik dan turun, mengikuti irama ekonomi dan perasaan manusia yang menggerakkannya. Namun satu hal yang pasti, selama ekonomi Indonesia tumbuh dan masyarakatnya terus bekerja, berinovasi, dan menetapkan tujuan yang optimis, arah jangka panjang IHSG akan tetap menanjak.

Maka, jangan takut pada fluktuasi, belajarlahmemahami maknanya. Karena di balik setiap pergerakan angka,tersimpan kisah besartentang pertumbuhan, harapan, dan masa depan bangsa.

banner 336x280